edisi spesial -*
Yang dipotret oleh wartawan Reuter ini menakjubkan saya. Detail ceritanya tak perlu saya anggap penting tetapi soal-soal berikut inilah yang menyita perhatian saya. Pertama adalah panjang ular yang cuma 6 meter, tetapi sanggup menelan biri-biri bunting seberat 90 kilogram. Untuk ukurannya, ular ini bisa jadi besar dan panjang. Tapi untuk ukuran hewan yang dimangsanya, ular ini sungguh binatang tak tahu diri.
Apa akibatnya? Reptil ini segera berubah menjadi seperti gumpalan. Tubuhnya menggelembung seperti bola besar dan ia hanya bisa teronggok tak berdaya. Jangankan lari dari manusia yang hendak menangkapnya, bahkan berkedip pun (jika ular bisa berkedip) rasanya ia tak berdaya. Jarang saya melihat mulut ular ngowoh, alias menganga. Tapi mangsa yang ditelannya, biri-biri bunting itu, benar-benar sanggup memaksa ular ini berekspresi sebagai ular paling dogol di dunia. Sehabis makan, hewan yang dia sangka rezeki itu, ia cuma menjadi bahan tontonan manusia, dengan aneka perasaan. Perasaan itulah yang hendak saya ceritakan.
Pertama adalah rasa takjub. Betapa luar biasa alam ini dalam menciptakan fenomena kelenturan. Watak lentur itu, jika dipraktekkan, bahkan bisa menggulung apa saja, bahkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Itulah kenapa orang-orang lentur, jika ia orang susah misalnya, adalah orang yang tahan menghadapi penderitaan. Itulah kenapa banyak tokoh mencetak karya-karya besar justru saat di penjara. Banyak ilmuwan sempurna ilmunya ketika ia disekap dalam kamp-kamp konsentrasi. Jika seseorang memperagakan kelenturan, bahkan derita pun tak sanggup menjamahnya, tapi malah membesarkannya.
Kedua adalah rasa jengkel. Tapi betapapun lentur ular ini, ia telah menjadi angkuh dengan kelenturannya. Mentang-mentang ia bisa menggulung apa saja yang lebih besar dari tubuhnya, tapi jika sesuatu telah melebihi takarannya, hasilnya cuma marabahaya. Ia memang sukses menelan mangsa spektakuler dan bisa bercerita kepada tetangganya sesama ular, betapa tinggi pretasinya itu karena telah sanggup menelan biri-biri, bunting lagi. Tetapi pihak yang terlalu obsesif pada prestasi sehingga gelap pandangannya atas keseimbangan, adalah pihak yang sedang bunuh diri.
Ketiga adalah rasa geli. Meskipun saya jengkel kepada hewan ini atas ketololannya namanya juga cuma ular. Jika ia mau menjadi sedikit lebih cerdas, tentu ia telah berpindah kelas menjadi setingkat hewan di atas ular. Maka melihat ada hewan yang cuma menjadi korban ketololannnya tanpa pernah menyadarinya, adalah sebuah humor yang luar biasa. Melihatnya berubah cuma sebagai gumpalan besar dengan mulut menganga, dan bahkan anak-anak pun tertawa melihatnya, tentu merupakan hiburan. Karena melihat pihak yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, selain mendatangkan kemuakan, pasti juga mendatangkan kegelian.
Keempat adalah perasaan iba. Betapapun ular ini hanyalah seekor ular yang terpaksa. Barangkali ia tak sanggup lagi mencari mangsa yang cocok untuk tubuhnya. Bisa jadi habitatnya telah rusak sehingga tikus, kucing dan ayam hutan telah tak lagi mudah ditemukan akibatnya ia harus melahap apa saja. Ketika tikus tak ada, biri-biri pun jadi, walau hasilnya adalah petaka. Tak ada soal yang mengharukan, selain melihat derita hasil dari sebuah kemalangan dan keterpaksaan. Ular ini barangkali datang dari jenis yang papa dan sengsara karena manusia tak lagi memberi ruang kepadanya.
Terakhir adalah tertegun. Punya hak apa saya melecehkan tindakan ular ini, jika manusia sepertiku pun sering mempraktekkan kelakuan yang sama malah bisa lebih gila. Manusia seperti saya ini tidak cuma suka menelan sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya, tetapi juga terlalu amat besar sekali. Kelaparan ini, kadang tak cukup hanya diisi dengan nasi tetapi juga aspal , pasir, batu, gunung, pulau dan beras selundupan. Dibanding dengan kelaparan manusia, lapar ular ini menjadi amat sederhana walau ia sanggup menelan gajah sekalipun!
See also previous page ->
Yang dipotret oleh wartawan Reuter ini menakjubkan saya. Detail ceritanya tak perlu saya anggap penting tetapi soal-soal berikut inilah yang menyita perhatian saya. Pertama adalah panjang ular yang cuma 6 meter, tetapi sanggup menelan biri-biri bunting seberat 90 kilogram. Untuk ukurannya, ular ini bisa jadi besar dan panjang. Tapi untuk ukuran hewan yang dimangsanya, ular ini sungguh binatang tak tahu diri.
Apa akibatnya? Reptil ini segera berubah menjadi seperti gumpalan. Tubuhnya menggelembung seperti bola besar dan ia hanya bisa teronggok tak berdaya. Jangankan lari dari manusia yang hendak menangkapnya, bahkan berkedip pun (jika ular bisa berkedip) rasanya ia tak berdaya. Jarang saya melihat mulut ular ngowoh, alias menganga. Tapi mangsa yang ditelannya, biri-biri bunting itu, benar-benar sanggup memaksa ular ini berekspresi sebagai ular paling dogol di dunia. Sehabis makan, hewan yang dia sangka rezeki itu, ia cuma menjadi bahan tontonan manusia, dengan aneka perasaan. Perasaan itulah yang hendak saya ceritakan.
Pertama adalah rasa takjub. Betapa luar biasa alam ini dalam menciptakan fenomena kelenturan. Watak lentur itu, jika dipraktekkan, bahkan bisa menggulung apa saja, bahkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Itulah kenapa orang-orang lentur, jika ia orang susah misalnya, adalah orang yang tahan menghadapi penderitaan. Itulah kenapa banyak tokoh mencetak karya-karya besar justru saat di penjara. Banyak ilmuwan sempurna ilmunya ketika ia disekap dalam kamp-kamp konsentrasi. Jika seseorang memperagakan kelenturan, bahkan derita pun tak sanggup menjamahnya, tapi malah membesarkannya.
Kedua adalah rasa jengkel. Tapi betapapun lentur ular ini, ia telah menjadi angkuh dengan kelenturannya. Mentang-mentang ia bisa menggulung apa saja yang lebih besar dari tubuhnya, tapi jika sesuatu telah melebihi takarannya, hasilnya cuma marabahaya. Ia memang sukses menelan mangsa spektakuler dan bisa bercerita kepada tetangganya sesama ular, betapa tinggi pretasinya itu karena telah sanggup menelan biri-biri, bunting lagi. Tetapi pihak yang terlalu obsesif pada prestasi sehingga gelap pandangannya atas keseimbangan, adalah pihak yang sedang bunuh diri.
**************************************
See also previous page ->